Di Negeri Damai, Pengeboman Menjadi Fitnah

Kamis, 03 September 2009

    Jalan perjuangannya ada dua yakni, dakwah dan jihad. Keduanya harus dijalankan secara terencana, terukur, melihat waktu, situasi, dan kondisinya.

Jalan perjuangannya ada dua yakni, dakwah dan jihad. Keduanya harus dijalankan secara terencana, terukur, melihat waktu, situasi, dan kondisinya.

Ustadz Abu Bakar Ba’asyir Amir Jamaah Ansharut Tauhid

Tiap kali terjadi pengeboman di negeri ini, namanya selalu disebut. Saat terjadi Bom Bali I dan II, ia “dipaksa” meringkuk dalam penjara karena dianggap terlibat. Ketika bom kembali diledakkan di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Jumat (17/7/09), namanya diseret-seret lagi.

Orang asing yang mengaku sebagai peneliti dan aparat negeri ini, menyebutnya sebagai “guru para pengebom”. Bahkan, aparat intelijen memberinya label Ketua Jamaah Islamiyah Asia Tenggara.
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Pendiri Ponpes Al-Mukmin, Ngruki, Surakarta. Kenapa ia selalu dikaitkan? Padahal ia berpandangan, melakukan pengeboman di negara damai justru akan menimbulkan fitnah. Salah satunya adalah kemungkinan ditunggangi pihak ketiga yang sebenarnya memusuhi Islam. Ia mengingatkan, di negara damai umat Islam dilarang berjuang dengan senjata.

Namun, ia menolak istilah teroris, karena jika menuduh teroris, sama saja membantu Amerika dan kalangan Islamfobia di negeri ini yang membenci mujahidin.

Menanggapi namanya kembali dikaitkan dengan pengeboman ia mengatakan, sebenarnya aparat mengetahui jika ia tak terlibat. Tapi karena terus berdakwah menghadapi ghazwul fikri, ia terus dibidik.

Kenapa para dai jadi sasaran aparat?

Apakah yang melakukan pengeboman itu mujahid atau teroris? Lantas, apa perbedaan bom bunuh diri dengan istisyhad? Inilah sebagian pertanyaan yang muncul dalam diskusi “Terorisme” dengan tokoh-tokoh Islam di Graha Sabili, Rabu (19/7/09). Salah satu yang hadir dalam diskusi ini adalah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Berikut petikan pandangan dan taushiahnya:

Pandangan ustadz terhadap penerapan syariah di negeri ini?

Islam yang diperjuangkan oleh ulama dan aktivis Islam adalah Islam yang kaffah yakni, Islam dalam arti khilafah dan daulah. Bukan seperti yang dikehendaki Yahudi yaitu, Islam yang diamalkan secara kultural saja. Persoalannya, untuk mewujudkan perjuangan ini, umat Islam akan mendapat tekanan hebat dari seluruh dunia. Dalam konteks Indonesia, sejak merdeka, umat Islam tidak boleh mengamalkan ajaran Islam secara kaffah. Jika mau jujur, sejak Indonesia merdeka, yang paling dizalimi adalah umat Islam. Padahal yang paling berjasa pada negeri ini juga umat Islam.
Dizalimi di sini maksudnya, umat Islam tak bisa melaksanakan ajarannya secara kaffah. Piagam Jakarta pernah diusulkan tapi dikhianati. Ini menjadi bukti bahwa Islam selalu ditekan. Jadi, kita ini terjajah. Jangan bilang sudah merdeka. Penjajahnya adalah pemerintah sendiri. Bentuk penjajahannya adalah tidak boleh mengamalkan Islam secara kaffah, padahal melaksanakan Islam secara kaffah merupakan perintah Allah. Bagi sebagian umat Islam, kondisi ini menimbulkan semangat perjuangan untuk membela agamanya. Ini wajar. Jalan perjuangannya ada dua yakni, dakwah dan jihad. Keduanya harus dijalankan secara terencana, terukur, melihat waktu, situasi, dan kondisinya.

Terkait aksi pengeboman, pandangan ustadz bagaimana?

Terkait pengeboman, sejak Bom Bali hingga Mega Kuningan, terus terang, saya sangat takut mengatakan mereka sebagai teroris. Wallahi, ini akan dipertanyakan oleh Allah SWT kelak. Mereka itu mujahid, tapi mereka mungkin salah langkah. Niat mereka baik, mau membela Islam dan umat Islam yang dizalimi, tapi langkah yang ditempuh salah. Tapi jika kita menyebut mereka teroris, kita ikut membantu Amerika dan oknum tertentu di Indonesia yang ingin menghancurkan Islam. Terorisme adalah produk Amerika untuk memerangi kaum Muslimin yang konsisten menjalankan agamanya. Mereka mengelabui orang dengan menyebut mujahid sebagai teroris. Meski begitu, saya setuju, tidak semua mujahid langkahnya benar, termasuk para pengebom di Indonesia. Melakukan pengeboman di Indonesia atau negeri lain yang damai itu langkah keliru. Tidak ada dalil syar’i-nya dalam al-Qur’an, hadits, atau contoh dari sahabat Rasul saw bahwa ngebom di negeri yang aman diperbolehkan. Kecuali jika dalam keadaan perang, kita boleh melakukan pengeboman.

Jadi bagaimana cara melawan musuh di Indonesia?

Dengan dakwah. Sampai saat ini Indonesia diperangi dengan bom ghazwul fikri (perang pemikiran), makanya harus dilawan dengan dakwah yang sistematis dan konsisten. Jika umat Islam diperangi dengan senjata, umat Islam akan melawan seperti yang terjadi di Ambon. Jika sekarang mau berjuang dengan senjata termasuk pengeboman, silahkan pergi ke Palestina, Afganistan, Irak, dan negeri lain yang umat Islamnya sedang di perangi. Dalam kondisi perang, umat Islam dibolehkan mengangkat senjata.

Jika demikian, bagaimana cara menghentikan pengebom di negeri ini?

Saya tidak yakin ada cara yang baik, kecuali pemerintah memberikan keleluasaan pada umat Islam untuk menerapkan syariah dan hukum Islam secara kaffah. Jika umat Islam tetap dikekang, Allah akan terus menurunkan azab. Salah satu azab itu adalah bom, karena kita melecehkan hukum Islam. Pengeboman ini adalah dari Allah, karena tanpa izin Allah mana bisa terjadi. Maka, penyelesaiannya, pemerintah harus memberikan kelonggaran bagi tegaknya hukum dan syariat Islam di negeri ini. Tapi jika ditekan terus, umat Islam akan menyingsingkan lengan. Apalagi jika keyakinannya yang dirampas, habis sudah, untuk apa hidup jika tak bisa mengamalkan Islam.
Sementara itu, para ulama, pengelola pondok pesantren, pimpinan ormas Islam, MUI, Departemen Agama, Departemen Pendidikan, para cendekiawan, dan intelektual Islam, harus memberikan nasihat pada umat. Silakan umat Islam berjuang tapi jangan ngawur. Di negeri aman dan damai bom adalah fitnah. Makanya, di negeri damai, gunakanlah dakwah bukan dengan mengangkat senjata. Masalah ini harus didudukkan pada tempatnya. Tapi pemerintah juga harus memahami bahwa penyelesaian atas berbagai bala’ (azab) di negeri ini adalah dengan hukum dan syariat Islam, tanpa itu tidak ada penyelesaian.

Bagaimana ustadz menjelaskan masalah ini pada masyarakat awam?

Tiap kali ceramah dalam tabliq akbar, pengajian, diskusi, mengajar, atau diwawancara wartawan, saya selalu memaparkan masalah bom dengan dua pendekatan. Pertama, dari segi syari’at. Ini adalah azab Allah, karena penyelewengan kita dari syari’at Islam. Berbagai azab sudah datang pada kita, dari penyakit, bencana alam, hingga pengeboman. Ini semua njanji Allah, karena kita banyak menyimpang dari ajaran Islam. Kedua, dari segi fakta. Hingga saat ini, saya belum menemukan fakta bahwa dalam berjuang Rasulullah saw dan para sahabat menggunakan senjata di wilayah aman. Adapun di wilayah perang, silahkan saja, namanya juga perang. Di Indonesia, musuh menyerang dengan pemikiran, kita harus melawan dengan dakwah bukan senjata.

Ada yang bilang pernyataan ustadz ambigu; di satu sisi tidak setuju pengeboman tapi di sisi lain tetap membela pelaku pengeboman?

Tidak. Mereka mujahidin, bukan teroris. Mereka tidak memenuhi unsur teroris. Mereka berjuang lillahi ta’ala mengorbankan jiwa untuk kaum Muslimin. Ini bukti nyata. Dengan mengorbankan jiwa bukan bom bunuh diri namanya, tapi istisyhad. Jika bunuh diri, latarbelakangnya adalah putus asa dari rahmat Allah karena utang, sakit tak sembuh-sembuh, atau persoalan dunia lainnya. Sedangkan istisyhad karena keyakinan, bukan karena masalah keduniaan. Pada zaman Nabi saw ada contohnya. Para Ulama juga membolehkan, selama tindakan ini menguntungkan umat Islam dan kaum Muslimin.

Apakah karena itu, ustadz selalu dikaitkan tiap kali ada pengeboman?

Mungkin saja. Meski saya dituduh terlibat pengeboman tapi saya yakin, mereka bukan tidak tahu, justru mereka tahu kalau saya tidak terlibat. Tapi, mengapa mereka tetap mengejar saya? Masalahnya adalah aktivitas dakwah yang saya lakukan untuk menghadapi serangan pemikiran itu. Jadi, dengan dakwah yang dikoordinir secara sistematis dan masif di semua daerah di negeri ini, kalangan Islamphobia, lebih merasa terserang dari pada pengeboman. Karena dengan dakwah yang benar, umat Islam berpotensi kembali ke jalan yang lurus. Kondisi ini tidak mereka senangi. Mereka akan senang jika umat Islam tetap bodoh dan tidak memahami keislamannya.

Apakah ada jaminan aksi pengeboman mereka tidak ditunggangi pihak ketiga?

Karena itu, selalu saya katakan, melakukan pengeboman di negara damai akan menimbulkan fitnah. Salah satunya adalah kemungkinan ditunggangi pihak ketiga yang sebenarnya memusuhi Islam. Makanya, saya selalu mengingatkan, jangan menggunakan kekerasan dalam situasi aman. Meski begitu, saya menolak istilah teroris. Jika kita menuduh mereka teroris sama saja dengan membantu Amerika dan kalangan Islamphobia di negeri ini. Bukankah para ulama sepakat, jika ada umat Islam yang membantu kafir harbi (kafir yang memerangi Islam), meski cuma meminjami pulpen, itu bisa murtad. Makanya kita harus hati-hati dan tidak menyebut mereka teroris. Teroris yang sebenarnya adalah Amerika dan kaki tangannya yang ada di Indonesia. Mereka meneror umat Islam di manapun berada.

Apakah dengan pernyataan Ustadz, bisa dijamin mujahid yang salah dalam berijtihad akan menghentikan aksinya?

Mudah-mudahan pernyataan saya bisa membuat mereka berhenti. Ini persoalan ijtihad, karenanya kita hanya bisa memberi nasihat. Jika mereka mau mendengar dan mengikuti nasihat saya, syukur. Jika tidak, mereka sudah berijtihad. Tapi saya yakin, wafatnya mereka husnul khatimah, karena niatnya jihad. Soal salah langkah mereka, Allah SWT yang akan menimbangnya kelak.
Pada zaman Nabi saw, hal ini pernah terjadi. Sahabat Nabi saw yang bernama Usamah, pernah membunuh seorang kafir yang sudah mengucapkan syahadat. Rasulullah pun marah pada Usamah, “Kenapa orang itu dibunuh?” Usamah berkata, ucapan syahadatnya itu hanya alasan agar terhindar dari kematian. Contoh lain adalah Khalid bin Walid. Karena Nabi saw tak kuat melihat tindakannya, akhirnya beliau berkata, “Saya melepaskan diri dari tindakan Khalid bin Walid”. Jadi, para mujahid itu niatnya sudah benar, membela Islam dan kaum Muslimin. Sasarannya juga benar yaitu, kafir harbi Amerika. Hanya saja, ijtihad-nya perlu diperbaiki.

Apakah mereka mau mendengar pernyataan Ustadz?

Mudah-mudahan mereka mau. Masalahnya, saya tidak menjumpai mereka. Jika bisa berjumpa mereka, pasti saya ajak diskusi. Pada kasus Bom Bali, Mukhlas mengatakan, jika dia bertanya pada saya pasti pemboman tidak akan berjalan. Saya bilang pada hakim bahwa saya tidak ada hubungannya dengan apa yang ia lakukan. Mukhlas juga mengatakan, “Saya muridnya Ustadz Ba’asyir, saya bebas berpendapat dan tidak taklid pada guru.” Karena itu, saya katakan, “Sudahlah itu pandangannya.” Saya juga mengatakan, itu adalah pandangan yang salah tapi mungkin benar, dan bisa jadi sebaliknya, begitulah yang dikatakan Imam Syafi’i.

Dalam keadaan damai, selain dakwah, ada cara lain menghadapi musuh yang sudah sangat keterlaluan dalam memfitnah Islam?

Jika ingin menyerang jangan terbuka, tapi perorangan. Caranya, dengan berpura-pura menjadi pembela orang itu. Nabi saw pernah memerintahkan seorang sahabat untuk membunuh seorang Yahudi yang sudah kelewat batas dalam memfitnah Islam dan rasul-Nya dalam situasi damai. Ada sahabat yang sanggup, tapi dengan syarat, Rasulullah harus mengizinkan ia dekat dengan orang itu dan berpura-pura mencaci-maki Rasul agar mendapatkan simpati musuh. Ketika sudah dekat dengan musuh yang diincar, dalam situasi tertentu yang tidak diketahui publik, akhirnya orang Yahudi itu dibunuh.

Bagaimana caranya, agar Islam bisa mengendalikan kekuasaan negara?

Dengan jihad. Selama ini kita diminta bertoleransi, tapi nyatanya Islam terus dipreteli. Ketika berdakwah, Nabi saw dituduh memecah belah persatuan dan rumah tangga, tapi nabi tetap menyampaikan yang haq dan yang bathil. Jika ikut yang benar masuk surga, sebaliknya masuk neraka. Mungkin ini revolusi namanya, mungkin juga jihad. Yang jelas ini sunnatullah. Islam juga tak bisa dipisahkan dari senjata. Nabi saw kalau berkhutbah membawa tombak, tapi sekarang diganti tongkat. Jika mengikuti Nabi saw, sekarang ini berkhutbah harusnya membawa M16.
Ini sesuai dengan pandangan Ibnu Taimiyah, Islam tidak bisa dipisahkan dari dua hal. Pertama, al-Qur’anul hadi wa sayfunnashir, al-Qur’an yang memberi petunjuk. Kedua, pedang yang menjaga. Makanya, pada al-Qur’an juga ada surat al-Hadid (surat besi), yang menerangkan fungsi besi dalam kaitannya untuk membela agama Allah. Sepanjang sejarah, tidak ada Islam menang tanpa Jihad. Hampir semuanya dijalankan dengan jihad. Saya menerangkan ini dengan harapan ada kelompok Islam yang mau mengoreksi diri dan mempeloporinya. Secara zahir saat ini belum ada. Jika kelompok-kelompok Islam bersatu dan mengoreksi diri, ini bagus. Kemudian mereka kerja-sama. Masalah aqidah tetap harus dibicarakan, tapi kalau sekadar khilafiyah biarlah berbeda.

Bagaimana kalau perjuangannya ikut demokrasi dan pemilu?

Berjuang itu harus menggunakan sistem Islam. Islam adalah jalan yang lurus maka ikutilah. Allah SWT juga sudah menunjukkan caranya dalam menjalankan dan memperjuangkan Islam. Ada juga yang mengatakan: wa la tattabiussubula, jangan mengikuti jalan lain, karena jika mengikuti jalan lain maka akan terpisah dari jalan yang sudah ditetapkan. Karenanya, jika berjuang dengan jalan di luar Islam nantinya akan menyimpang jauh dari Islam. Contohnya, partai Islam di Indonesia. Awal kemunculannya mereka menerapkan sistem dan pengkaderan atau tarbiyah yang bagus.
Tapi karena mengikuti demokrasi akhirnya bermasalah, meski maksudnya benar. Awalnya tegas dan lurus dalam memandang haq dan batil, tapi lama kelamaan ketika masuk sistem, mereka mengikuti apa yang ada di dalam sistem itu. Akhirnya, esensi perjuangannya pun menjauh. Jadi kalau kita memakai sistem di luar Islam akan makin jauh dari Islam. Meski niat kita baik untuk kejayaan Islam. Saya berpendapat, menegakkan Islam sistemnya sudah ada yakni, dakwah dan jihad. Sudah itu saja. Karenanya, jika ingin benar harus mengikuti jalan Allah seperti ditetapkan dalam surat al-An’am 153: “... Inilah jalanku, maka ikutilah ...” Jangan mengikuti jalan lain karena akan terpisah dari jalan Allah SWT.

Bagaimana bisa menguasai negara jika tidak masuk ke dalam sistem?

Nabi saw tidak pernah masuk ke dalam sistem dalam perjuangannya. Rasulullah saw memberantas sistem jahiliyah di jazirah Arab dan sekitarnya dari luar. Ini contoh yang diterapkan nabi, kita harus mengikutinya. Sebabnya jelas, jika kita masuk ke dalam sistem pasti kotor. Ada kiai mengatakan, orang yang berjuang dengan cara memasuki sistem yang kotor dan ingin mengubah menjadi bersih, sama saja dengan membersihkan dirinya yang sudah terkotori kotoran manusia dengan air seni. Memang bersih terlihatnya, tapi tetap saja kotor, karena air seni itu najis.

Makanya, kita harus mengikuti cara yang ditempuh Nabi saw. Ketika tahu berhala adalah bathil, maka kita hantam dari luar. Jika kala, kita berharap pertolongan Allah, karena bisa jadi Allah memberi kekalahan terlebih dulu sebagai bagian dari ujian iman. Maka, marilah kita kembali memegang syariat yang benar. Jika ingin berdakwah maka berdakwahlah dengan benar. Di Amerika misalnya, tunjukkan kebenaran Islam dan kebathilan Amerika. Tapi harus ingat, umat Islam tidak boleh pergi ke negeri orang kafir kecuali untuk empat urusan. Pertama, untuk sekolah, belajar, menuntut ilmu. Kedua, karena sakit dan untuk berobat. Ketiga, urusan bisnis dan perdagangan. Keempat, dalam rangka dakwah.

Bukankah negara ini sudah dikuasai umat Islam? Buktinya, presiden dan wapresnya Muslim, sebagian besar anggota DPR, juga pejabat lainnya?

Inilah ciri-ciri penyakit murji’ah telah menyerang umat Islam. Murji’ah adalah aliran yang mempercayai iman hanya diukur dengan kepercayaan. Makanya, ketika berbicara tentang negara, banyak yang mengatakan, presiden dan wakilnya orang Islam, mereka juga shalat, adzan ada di mana-mana, berarti kan sudah negara Islam. Artinya, di sini mereka mengukur iman dengan kepercayaan. Padahal, dalam Ahlussunnah, iman adalah kepercayaan, perkataan, dan perbuatan dalam mengamalkan syariat Allah. “... dan tidaklah sebagian orang Islam itu beriman, dan selainnya adalah kemusyrikan ...” Coba bayangkan, beriman tapi syirik. Asal percaya dengan la ilaha illa Allah diyakini sudah beriman seperti, nabi dan malaikat. Padahal, mereka juga membunuh nabi, ulama, mencuri, dan melakukan kezaliman lainnya.

Apa yang dimaksud dengan ulama shughur?

Itu ulama yang tinggal di medan jihad. Menurut Ibnu Taimiyah fatwa mereka lebih mendekati kebenaran, karena ulama yang berada di medan jihad akan banyak mendapat ilham. Dia ulama yang aktif berjihad dan tinggal di medan jihad, karenanya pandangan agamanya sangat tajam.

Dibandingkan dengan ulama yang tinggal di luar medan jihad?

Ulama shughur jelas lebih mulia. la yastawi al-qa’idun wal mujahidun (tidaklah sama antara komandan dengan para mujahid). Keduanya baik, tapi tak sama. Yang mujahid yang lebih mulia, karena dia berkata dengan perbuatan. Harus diketahui, tinggal di medan jihad itu beda rasanya. Kalau di tempat normal itu kotor keadaannya, sedangkan di medan jihad itu bersih, karena medan jihad itu pertahanan umat Islam. Situasinya memang lain.

Bagaimana dengan serangan Yahudi sekarang ini?

Orang Yahudi mengerti, salah satu keunggulan Islam adalah jihad. Karenanya, tidak masalah orang Islam tetap dalam keislamannya, asalkan tidak memiliki semangat jihad dan tidak memiliki cita-cita menegakkan kekuasaan Islam. Jika ini yang terjadi, kita harus ingat hadits Nabi saw: “... kalau umat Islam sudah tidak mau berjihad maka akan berada dalam derajat kehinaan ...” Tujuan digembar-gemborkannya terorisme adalah untuk membunuh jihad.

Ada buku berjudul “Jihad Tanpa Kekerasan.” Saya disuruh memberi komentar. Saya tolak, karena kekerasan jika sesuai dengan syariat adalah haq. Lemah lembut menyalahi syari’at itu bathil. Ukurannya adalah syari’at. Jika kita diperangi maka harus memerangi mereka.
Sekarang ini, semangat jihad di kalangan umat Islam memang mulai muncul dan ditakuti musuh. Pemerintah mestinya memahami saja. Jika ada yang mau berjihad sediakan jalan untuk pergi ke medan jihad di Palestina, Afganistan, Irak, atau daerah peperangan lainnya. Jangan malah ditutup. Perjuangan memang banyak rintangannya dan berat ujiannya. Tapi selama kita istiqomah dan sungguh-sungguh dalam berjuang, Allah SWT pasti akan menolong, karena sebaik-baik makar adalah makarnya Allah.

sabili.co.id