By Republika Newsroom
Suatu ketika Iskandar Agung berjalan-jalan untuk melihat kehidupan rakyatnya. Setiap ia lewat di kampung atau kota, seluruh penduduk membungkukkan kepalanya sebagai tanda hormat. Namun di suatu kota, ada seorang laki-laki yang enggan menundukkan kepalanya ketika sang pemimpin agung itu lewat. Lelaki itu menarik perhatiannya, siapakah dia. Untuk itu, ia menyuruh pengawalnya menghadirkannya ke istana.
''Mengapa kau tidak memberi hormat kepadaku,'' tanya Iskandar Agung kepada lelaki tua yang telah hadir di hadapannya. ''Ya, mengapa aku harus menghormati Tuan, padahal Tuan salah seorang pelayanku,'' jawab pak Tua seenaknya. Iskandar Agung berang mendengar jawabannya. ''Apakah kau sudah gila, berani mengatakan itu di hadapanku?'' bentaknya.
Pak Tua bukannya takut dengan hardikan Iskandar Agung. Bahkan dengan suara lantang ia berkata, ''Meski Tuan mengaku sebagai pemimpin, pada hakekatnya Tuan hanyalah budak, budak yang telah dikuasai oleh hawa nafsu dan amarah. Sedang aku telah mengalahkan keduanya.''
Kisah di atas mengisyaratkan bahwa orang merdeka (bukan budak) adalah yang dapat mengendalikan keinginan hawa nafsu dan amarahnya. Dia lebih mulia dari orang yang kaya harta tetapi terjajah hawa nafsu dan amarahnya. Orang yang mampu mengendalikan nafsunya juga disebut oleh Nabi Muhammad sebagai orang bijak.
Kemerdekaan jiwa dapat dicapai ketika seorang mensucikan dirinya (tazkiyatun nafs) dari hawa nafsu yang selalu mendorongnya melakukan perbuatan menyimpang dari asas perikemanusiaan adil dan beradab. Jika seseorang atau suatu bangsa telah memiliki kesucian diri, boleh dikata mereka telah merdeka. Suatu bangsa yang memiliki kesucian diri dari kesalahan amal akan mampu mengatasi segala kekuatan yang mengancam kemerdekaan bangsanya.
Orang-orang bijak mengatakan, ''Merdekakanlah dirimu dari segala jeratan dunia yang bukan hakmu. Engkau tak akan mampu menguasai sesuatu yang bukan hakmu.'' Allah SWT berfirman, ''Sungguh amat beruntung orang yang mampu memerdekakan dirinya.'' (Q. S. 87: 14). ahi