Laura Rodriguez, Dari Katolik Jadi Presiden Federasi Perempuan Muslim

image Islam adalah agama yang universal dan rahmat bagi sekalian alam. Islam sangat menjunjung tinggi ajaran moral dan akhlak. Seluruh inti dari ajarannya memberikan kedamaian, ketenangan, dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Selain itu, Islam tidak membeda-bedakan derajat laki-laki dan perempuan, kecuali atas dasar ketakwaannya kepada Sang Pencipta alam semesta.

Gambaran seoerti itu membuat Laura Rodriguez memilih Islam dan keluar dari Katolik. "Saya memilih Islam karena memberi saya hak-hak yang tidak diberikan oleh agama saya sebelumnya.

Islam memberikan kebebasan individu dan hak-hak hukum, hak untuk pendidikan dan pekerjaan, bahkan hak untuk hidup bersama dalam sebuah perkawinan," ujar Laura Rodriguez, tentang pilihannya memeluk Islam.

Laura tidak asal bicara. Lahir sebagai seorang Katolik dan dididik di sekolah Katolik dengan ajaran yang sangat ketat, ia sangat paham seluk-beluk agama itu. Tapi, perjalanan hidup mengantarkannya pada titik yang lain dari awal tempatnya berangkat. Saat tengah menekuni agama lamanya, Laura justru menemukan pencerahan dalam Islam. Ia menyatakan, saat ini dirinya sangat nyaman berada dalam naungan agama yang diridhai Allah ini.

Perempuan yang kini menjabat sebagai presiden Federasi Perempuan Muslim di Spanyol ini mengungkapkan, `penindasan' terhadap kaum perempuan masih berlaku hingga saat ini di negaranya yang mayoritas warganya adalah Katolik. "Para perempuan Katolik tidak dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Bahkan, sampai saat ini, perempuan Katolik di Spanyol perlu mendapatkan perizinan khusus dari suami meski hanya untuk membuka rekening bank," ujar Laura, sebagaimana dikutip muslimdaily.net.

Padahal, lanjutnya, dalam Islam seorang perempuan juga mempunyai hak untuk mendapatkan yang lebih baik, termasuk dalam membangun rumah tangga bersama suaminya. "Sebelumnya, perempuan dibatasi hanya melahirkan anak-anak. Mereka tidak berhak mengajukan perceraian bila tidak ada kecocokan dalam rumah tangga. Dan Islam, memberikan semua hak itu, yang menurut saya sangat sesuai dengan kodrat perempuan," ujar dia.

Ia menambahkan, kaum perempuan baru memperoleh hak mereka sejak negara-negara Eropa Kristen menjadi sekuler setelah Revolusi Perancis. Kondisi tersebut, kata dia, membuat pihak gereja kehilangan kekuasaannya untuk mempengaruhi masyarakat.

Meski kini Laura mengakui telah mendapatkan hak-haknya kembali sebagai seorang perempuan dalam Islam, bukan berarti tantangan dan pekerjaan berat sudah selesai. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki nasib dan kehidupan perempuan Muslim dan imigran di Spanyol. Salah satunya adalah buruh migran Muslim yang banyak mendapat kesulitan dibandingkan buruh migran lainnya yang non-Muslim.
Laura sendiri telah bekerja pada isu imigrasi selama 17 tahun terakhir.

"Kenyataan di lapangan berbicara bahwa masih banyak migran perempuan menghadapi kesulitan yang lebih dibandingkan rekan-rekan pria mereka," paparnya sebagaimana dikutip dari laman orange.co.uk.

Ia sangat menghargai pendekatan Pemerintah Spanyol saat ini yang dipimpin oleh Jose Luiz Zapatero dari Partai Buruh Sosialis, menyangkut kebijakannya terhadap Muslim. "Zapatero adalah perdana menteri pertama yang secara resmi menerima perwakilan dari komunitas Muslim dalam pemerintahannya," ungkapnya. "Dia juga yang pertama untuk memberikan dukungan keuangan untuk umat Islam dan organisasi Islam lainnya."

Akan tetapi, kata Laura, pemerintahan Zapatero belum mampu membuat kemajuan terkait isu-isu yang menyangkut agama dan kaum perempuan di Spanyol. "Saat undang-undang tentang perempuan dan isu-isu yang menyangkut agama dibahas, ternyata tidak ada perwakilan umat Islam yang diundang di sana," terang Laura. Ia menyayangkan hal itu tidak dilakukan Zapatero.

Menurut Laura, fakta di lapangan membuktikan kalau undang-undang tersebut tidak dapat melindungi hak-hak kaum perempuan, khususnya kaum perempuan imigran. Ketidakadilan itulah yang kemudian mendorong perempuan berjilbab ini berusaha keras untuk membantu dan meringankan penderitaan perempuan migran Muslim dalam mendapatkan hak-haknya.

Stigma negatif Pekerjaan rumah lain yang harus dituntaskannya, menurut Laura, adalah bagaimana menghapus stigma negatif yang selama ini kerap melekat dalam diri umat Islam. Islam di Spanyol, ungkapnya, terus dihubungkan dengan ekstremisme, terorisme, dan imigran ilegal walaupun sebenarnya sejarah dan budaya Spanyol tidak lepas dari kebesaran Islam sendiri.

Karena itu, melalui kampanye dan pameran yang digagasnya beberapa waktu lalu, Laura berupaya untuk memperlihatkan kondisi umat Islam di negaranya yang sesungguhnya. "Kami lahir di Eropa dan ber-Islam serta memeluk agama ini di Eropa. Sudah semestinya Islam juga menjadi salah satu identitas Eropa," usulnya. Usulan Laura ini dipahami oleh media Eropa sebagai salah satu pernyataan yang sangat kontroversial.

Bagi Laura, hak asasi manusia yang sering digembar-gemborkan dunia internasional hingga saat ini justru lebih banyak menciptakan masalah di Eropa. Karena di sisi lain, Eropa terus menggambarkan Islam sebagai agama yang buruk dengan menunjukkan kepada masyarakatnya contoh-contoh buruk, kolot, pemimpin yang kejam (tiran) dan lalim, serta kaum perempuan yang tertindas.

"Oleh media Eropa, Islam digambarkan sebagai agama yang kolot, kejam, dan kaum perempuannya dianggap tidak berbudaya. Padahal, perbuatan buruk seperti itu dilakukan sendiri oleh pihak Eropa terhadap masyarakatnya," terang Laura.

Laura menambahkan, "Ketika kami memegang ajaran Islam di Spanyol secara wajar, media Eropa dan Barat tidak memberi perhatian sedikit pun. Tetapi, ketika seorang pezina dirajam di negara Muslim, media Barat dengan bersemangat terus memberitakan dan menyorotinya.

Bahkan, kadang menyebut hukum Islam, seperti rajam sebagai tragedi bagi dunia," ujarnya.

Karena itu, menurut Laura, negara-negara di Eropa harus mendapatkan pendidikan dan pelajaran yang benar tentang Islam. Inilah tantangan yang dihadapi seluruh umat Islam di dunia, untuk menunjukkan wajah Islam yang ramah, damai, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Laura menjelaskan, pada dasarnya kaum perempuan Muslim di negara-negara Barat, ingin berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial di Barat. Tetapi, orang Eropa tidak membolehkannya. "Jika saya ingin mendapatkan pekerjaan atau bergabung dengan organisasi masyarakat, pasti akan ditolak karena saya memakai jilbab," tukasnya.

Seperti diketahui, media-media di Eropa bahkan sejumlah parlemen di Eropa, kini membuat sejumlah perundang-undangan yang membatasi kegiatan umat Islam. Mulai dari persoalan jilbab, pembangunan menara masjid, suara azan, hingga isu terorisme global. Berbekal pengalaman yang ada, Laura berkeinginan menunjukkan tekadnya dalam memperjuangkan kaum perempuan Muslim untuk mendapatkan hak-haknya secara adil.

Red: irf
Rep: Nidia Zuraya