Surat Terbuka Lauren Booth: Mengapa Saya Memilih Islam (2)

image REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Belum sebulan menjadi mualaf, ipar mantan perdana menteri Inggris Tony Blair,  Lauren Booth, kembali menjadi bahan berita. Kali ini ia disebut menganut Islam syiah garis keras. Tudingan itu, dilatari perjalanannya ke Iran yang mengantarkannya menjadi Muslim.

Publikasi lain menyebut, ia menjadi Muslim hanya demi mencari popularitas. "Ia ingin diperhatikan," demikian sebagian orang mengomentari.

Alih-alih menanggapi semua tudingan, ia malah membuat surat terbuka tentang rasa syukurnya menjadi seorang Muslim. Suratnya itu dimuat di harian Daily Mail edisi awal pekan ini. Berikut ini bagian dua dari petikan suratnya yang sebelumnya dimuat di Republika Online edisi rabu (3/11):
Bagaimana tentang perjalanan spiritual? Itu tak pernah terjadi pada saya. Meskupun, saya suka berdoa dan sejak kecil sudah mendengar cerita tentang Yesus dan para nabi sebelumnya. Saya dibesarkan dalam keluarga yang sangat sekuler.

Mungkin apresiasi saya atas budaya Islam, terutama pada perempuan Muslim, yang menarik saya untuk mengapresiasi Islam. Perempuan Islam yang saya lihat di Inggris adalah yang menutup seluruh tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki, kadang berjalan di belakang suami mereka, dengan anak-anak berbaju panjang di sekitar mereka.

Ini sungguh kontras dengan kondisi wanita profesional Eropa yang umumnya sangat memperhatikan penampilannya. Saya, misalnya, sangat bangga dengan rambut pirang saya, dan ya, belahan dada saya. Ini seolah menjadi "jualan" utama kami.

Saat bekerja di dunia broadcast televisi, betapa hal itu makin jelas terasa: presenter wanita menghabiskan waktu hingga satu jam untuk merias wajah dan penampilan mereka, hanya untuk membahas satu topik "serius" yang memakan waktu tak lebih dari 15 menit. Apakah ini sebagian bentuk liber-ation? Saya mulai bertanya-tanya seberapa banyak penghormatan bagi gadis-gadis dan perempuan dalam masyarakat "bebas" kita.

Pada tahun 2007 saya pergi ke Libanon. Saya menghabiskan waktu empat hari bersama para mahasiswi di sana, sebagian dari mereka mengenakan cadar. Mereka tetap tampak menawan, mandiri, dan bebas berpendapat. Mereka semua bukan gadis yang pemalu, atau mereka akan segera dipaksa untuk menikah, seperti yang sering kita dengar di Barat.

Suatu waktu mereka menemani saya mewawancarai seorang syekh yang disebut-sebut dekat dengan milisi Hizbullah. Saya sangat terkejut ketika melihat bagaimana syekh itu memperlakukan pada gadis yang menemani saya ini. Saat Syekh Nabil  yang mengenakan surban dan jubah cokelat berbicara tentang topik yang "menantang" -- tentang pertukaran tawanan -- mereka tergelitik untuk angkat bicara. Mereka bebas bertanya dan menyatakan apapun, termasuk angkat tangan untuk menyela sang Syekh yang tengah berbicara.

Ada hal lain yang berubah kemudian dalam diri saya.  Semakin banyak waktu saya habiskan di Timur Tengah, semakin sering saya minta diantar ke masjid. Hanya untuk kepentingan pesiar, begitu saya selalu meyakinkan pada diri saya. Walaupun faktanya, saya mendapatkan lebih dari sekadar "wisata" belaka.

Bebas dari aneka patung dan bangku, saya melihat mereka duduk begitu saja dengan anak-anak bermain di sekitarnya, beberapa memakan bekal mereka, dan wanita tua duduk di atas kursi roda mereka membaca Alquran. Mereka membawa "kehidupan" mereka ke masjid, dan membawa "masjid" ke dalam rumah-rumah mereka.

Dan tibalah suatu malam saat saya mengunjungi kota Qom, di bawah kubah emas yang disebut Fatimah Mesumah (Fatimah Sang Teladan), sama seperti perempuan lainnya di sana, tiba-tiba saya bergumam nama Allah beberapa kali, ketika memegang pagar makam Fatimah.

Ketika saya duduk, sebuah kenikmatan spiritual menyergap saya. Bukan kenikmatan yang seolah mengangkat kita dari tanah, tapi kenikmatan yang memberi kedamaian penuh. Saya duduk di sana untuk waktu yang lama. Seorang wanita muda di samping saya membisikkan, "Suatu keajaiban tengah terjadi pada Anda".

Ya, seketika saya tahu. Saya bukan lagi "turis dalam Islam", tapi telah menjadi umat, bagian dari komunitas Muslim, dan terkait dengan seluruh Muslimin.

Untuk pertama kalinya saya merasakan ingin lari dari situasi ini. Ada beberapa alasan; Apakan betul saya telah siap berpindah agama? Apa yang akan ada dalam pikiran teman-teman dan keluarga kalau saya menjadi Muslim? Apakah saya siap untuk mengubah banyak hal dalam perilaku keseharian saya?

Dan yang terjadi kemudian adalah hal yang benar-benar aneh. Saya tidak merasa khawatir tentang hal-hal itu, karena entah bagaimana menjadi seorang Muslim sangat mudah - meskipun masalah yang akan saya hadapi sangat berbeda, tentu saja.

Untuk memulai, Islam menuntut banyak belajar, namun saya ibu dua anak dan bekerja penuh waktu. Anda diharapkan untuk membaca Alquran dari awal hingga akhir, ditambah dengan bertemu imam dan segala macam aturan bagi orang yang sudah tercerahkan. Kebanyakan orang akan menghabiskan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sebelum menyatakan keislamannya. Saya bisa melewatinya.

Kini saya menjalin hubungan dengan beberapa masjid di North London, dan saya pergi ke sana setidaknya sekali seminggu. Saya tidak mengkotakkan diri saya apakah saya seorang Syiah atau Sunni. Bagi saya, hanya ada satu Islam dan satu Allah.

Mengadopsi pakaian, harus saya akui, lebih sulit dari yang Anda pikirkan. Menggunakan jilbab artinya saya berubah secara lebih cepat lagi. Dan, saya melakukannya beberapa pekan lalu. Untunglah, cuaca di luar dingin, jadi hanya sedikit orang yang memperhatikan.

Beberapa orang di tempat kerja saya bisa menerima, sebagian lain mencibir, bahkan menganggap palsu konversi keyakinan saya. Tapi sekarang, saya mulai bisa mengabaikan komentar-komentas negatif mereka. Beberapa orang mungkin tak bisa paham tentang perjalanan spiritual, dan berbincang tentang itu justru membuat mereka ketakutan.

Lepas dari semua itu, satu yang menjadi perhatian saya saat ini adalah: saya akan tetap profesional. Beberapa aktivias lama akan tetap saya lakukan. Saya akan tetap menjadi aktivis pro-Palestina, dan tak akan berhenti. Inggris adalah negara yang lebih toleran, setidaknya dibanding Prancis dan Jerman.
Saya beruntung bahwa saya mempunyai hubungan yang kuat dengan orang-orang di sekitar saya. Reaksi dari teman-teman saya yang non-Muslim lebih pada penasaran daripada bermusuhan. "Apakah itu akan mengubahmu?" Mereka bertanya. "Bisakah kita tetap berteman? Bisakah kita pergi minum?"

Jawaban atas dua pertanyaan pertama adalah: ya. Yang terakhir kemungkinan besar adalah, tidak.

Hubungan saya dengan ayah saya mungkin memang tidak bagus, dan susah memintanya memahami konversi keyakinan saya. Saya dan ibu saya memiliki hubungan yang buruk sejak saya menginjak dewasa, namun kami membangun sebuah "jembatan" hubungan dan dia selalu mendukung saya. Ketika saya bilang saya menjadi Muslim, dia menjawab, "Bukan menjadi itu (Muslim). Kudengar tadinya kau menjadi Budha." Namun kini dia memahami dan menerimanya.

Suatu saat jika harus menikah lagi, saya ingin suami saya seorang Muslim. Jika ditanya apakah anak-anak saya akan menjadi Muslim juga, saya tak bisa menjawabnya. Semua terserah mereka. Anda tak bisa mengubah hati seseorang bukan? (Selesai)

Catatan: Beberapa bagian suratnya kami penggal, tetapi tidak mengurangi arti secara keseluruhan.

Red: Siwi Tri Puji B