Anggota Konggres AS, Keith Ellison, Mengenang Sekilas Perjalanannya Menuju Islam

image

REPUBLIKA.CO.ID, MINNEAPOLIS, MINNESSOTA – Ketika anggota Kongres, Keith Ellison mengambil sumpah pertama kali pada 2007 silam ia memegang Al Quran milik Thomas Jefferson. Banyak orang terkejut setelah tahu ia adalah Muslim pertama yang berhasil duduk di Kongres AS.

"Saat pertama berada di Kongres, sesungguhnya saya sendiri pun terkejut karena banyak orang terpana bahwa saya adalah Muslim pertama di sana," ujar Ellison, anggota Demokrat yang telah bertugas dalam tiga putaran di Parlemen AS, seperti dikutip CNN.

"Namun seseorang berkata pada saya, "Lihatlah Keith, pikirkan dulu ada seorang berdarah Jepang memasuki Kongres tepat enam tahun setelah Pearl Harbor, ini tentulah kisah yang layak jadi berita."

Perwakilan negara bagian Minnesota ini pertama kali terpilih pada 2007. Ia menyuarakan populasi yang kian berkembang di negara bagian kawasan utara tersebut.

Elisson kini telah menjadi anggota kongres selama tiga tahun mewakili distrik kelima Minnesota.

Meski status Ellison sebagai Muslim pertama yang menjadi anggota Kongres telah diketahui luas, namun sedikit yang tahu bahwa ia dilahirkan dari keluarga Katholik di Detroit dan dibesarkan serta dididik di sekolah Katholik.

"Kini saya bisa mengatakan dulu yang saya rasakan hanyalah ritual dan dogma," ujar Ellison. "Tentu itu bukan kenyaataan dari Katholikisme, namun kenyataan di mana saya hidup. Jadi saya pun kehilangan ketertarikan dan berhenti berkunjung ke kegiataan keagamaan kecuali bila diminta."

Menempuh pendidikan di Wayne State University, Detroit, Ellison mengaku mulai mencari sesuatu yang lain.

Tanpa memaparkan detail apa yang membuat ia tertarik menuju Islam, ia menyebut bahwa ia terdorong dengan perkumpulan multinasional.

"Saat itu saya benar-benar ingin melihat dan mendengar bagaiman sesungguhnya kisah seseorang yang mengalami perubahan keyakinan. Karena saya tidak," ujarnya.

"Saya menyelidikinya dan itu memiliki efek bagi batin saya, memberi saya inspirasi dan juga perasaan bertanya-tanya sekaligus kagum. Setelah itu saya pun menjadi Muslim. Sejak saat itu hingga kini Islam selalu cocok untuk saya."

Menghadapi banyak rintangan dalam karir politik karena seorang Muslim, tak membuat Ellison berpikir mengubah kembali keyakinannya. "Keyakinan saya dan identitas saya adalah Muslim. Saya tak pernah melihatnya sebagai sesuatu yang memberatkan, begitu pula dalam pekerjaan," ujarnya.

"Itu sekedar aspek dalam kehidupan saya. Waktu di mana kita hidup dan kita harus merespon kenyataan dunia di mana kita berada di dalamnya," ujar Ellison berfilsafat.

Bukan hanya kendala, tetapi juga pengakuan. Ellison merasa bahwa keyakinanny telah mengubahnya menjadi figur nasional terutama bagi Muslim AS. "Di luar keinginan, saya menjadi seperti figur simbolis," ujarnya.
"Saya sendiri selalu menyeru sebisa mungkin untuk menjauhi semua berbau simbolis. Namun ketika berakhir dalam posisi itu, mengapa tidak memanfaatkan itu? Mengapa tidak saya gunakan untuk membantu orang-orang bahu-membahu bersama?"

Meski sejauh ini ia sukes mengamankan karir politiknya, anggota Demokrat itu mengakui lawan politiknya kerap menggunakan keyakinannya sebagai isu kampanye pemilihan Kongres. "Saya akan memperingatkan mereka (lawannya) untuk berhati-hati bahwa itu tak akan berhasil. Orang-orang tak lantas menyimpan kebencian macam itu," ujarnya.

"Jika anda datang dan berkata, 'Pilihlah saya karena Ellison adalah Muslim dan saya bukan,' maka sembilan dari sepuluh pemilih pasti akan melihat itu sebagai kekonyolan, itulah yang terjadi."

Namun, kampanye macam itu sama sekali tak menyakitinya. "Justru saya merasa kasihan dengan orang-orang yang menggunakan cara tadi."

Tak ada data resmi berapa jumlah Muslim di Amerika Serikat, karena dalam sensus nasional, agama tidak masuk dalam daftar yang harus diisi, namun diperkirakan umat  Islam di negara itu mencapai 6-8 juta jiwa.

Ellison dalam misinya selalu menekankan untuk menggunakan keimanan sebagai penghubung lintas keyakinan dalam komunitas di AS. "Iman seharusnya menjadi jembatan setiap manusia untuk saling berhubungan, bukan pembentuk dinding," ujarnya.

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari