Cahaya Islam di Negeri Matahari Terbit

By Republika Newsroom

imageSebuah survei resmi menyatakan, hanya satu dari empat orang Jepang yang percaya terhadap agama.


''Saya menemukan kepuasan luar biasa dan kedamaian setiap kali saya datang dan beribadah di masjid,'' ujar Michiko, seorang Muslimah Jepang. Sebelumnya, ia adalah penganut Buddha, namun menjalankan ritual Kristen dalam kesehariannya. Alquran menjadi daya tarik baginya hingga tanpa ragu, Michiko pun memilih Islam. Setelah melalui proses pencarian panjang, ia menemukan kedamaian jiwa setelah membaca Alquran.


Banyak umat lainnya yang tertarik dengan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW karena pesan damai yang diusung Islam yang disampaikan melalui Alquran. Jauh berbeda dengan penggambaran Islam yang sering dicitrakan orang Barat tentang Islam. Bagi kelompok yang anti-Islam, agama kedamaian ini dicitrakan sebagai agama kekerasan, terorisme, antikebebasan, dan sebagainya.


Namun, bagi Michiko, Islam adalah agama pembawa kedamaian dan cinta kasih pada sesama. Michiko bahkan menggambarkan pesan kedamaian dalam Islam sama, bahkan lebih baik dengan pesan kedamaian yang dibawa agama Buddha yang diikuti oleh hampir 80 persen orang Jepang.


Materialisme


Masyarakat Jepang modern saat ini memang lebih berorientasi pada pekerjaan dan sangat materialistis. Konsep keluarga tradisional Jepang semakin lemah di tengah dunia modern yang mengacu pada faktor sosial dan ekonomi. Modernitas, ketertarikan akan mode ala Barat, gaya hidup, dan sederet pemicu lainnya telah menjadi lokomotif utama perubahan nilai sosial dan budaya masyarakat Jepang.


Bukan hanya gaya hidup, kepercayaan mereka terhadap agama pun mulai berkurang. Dari pemeluk Shinto atau Buddha yang taat, kini hanya sedikit dari mereka yang melakukan ritual keagamaan. Bahkan, sebuah survei resmi menyatakan, hanya ada satu dari empat orang Jepang yang percaya terhadap agama.


Kendati mengalami penurunan tingkat kepercayaan pada agama, masyarakat Jepang masih mempertahankan kegiatan dan ritual keagamaan sebagai sebuah tradisi yang berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Karena itu, tak heran kalau masyarakat Jepang memiliki pola hubungan yang unik dengan agama mereka.


Hal-hal yang berkaitan dengan agama hanya dilakukan pada saat-saat tertentu, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian. Di luar itu, pada umumnya, orang Jepang tidak terlalu aktif dalam kegiatan keagamaan. Ritual yang dilakukan di kuil-kuil hanya sebagai formalitas dan upaya untuk mencari kedamaian.


Tak terpengaruh


Kehadiran agama Islam dan tuntunan dalam menjalani kehidupan di dunia memberikan pencerahan baru bagi masyarakat Jepang. Sebelumnya, mereka merasakan beban hidup yang demikian berat. Dengan Islam, kehidupan mereka menjadi lebih damai.Seperti umumnya masyarakat Eropa, di masyarakat Jepang juga masih muncul pemahaman yang salah tentang Islam. Mereka menganggap, Islam adalah agama aneh dan hanya hidup di negara yang belum berkembang. Pemikiran ini muncul seiring dengan arus westernisasi yang diusung misionaris agama Kristen.


Kondisi ini semakin diperparah dengan banyaknya penyebaran informasi yang salah kaprah. Misalnya, beberapa tahun lalu, salah seorang penulis terkenal di Jepang menyebut Islam tak beda dengan kepercayaan penyembah matahari (Shinto).


Meski ada kesalahpahaman tentang Islam, banyak orang Jepang percaya bahwa Islam akan lebih diterima di Negeri Sakura itu. Dekan Fakultas Studi Islam Universitas Takushoku Tokyo, Tayeb El-Mokhtar Muto, menyatakan, roh toleransi dan cara berpikir logis yang dimiliki warga Jepang telah menjadikan mereka begitu dekat dengan karakter dan nilai Islam. Meski belum ada angka pasti, hal ini juga dibuktikan dengan jumlah umat Islam di Jepang yang kian hari kian bertambah.


Menurut Muto, semua kebohongan dan isu negatif yang dialamatkan pada Islam, terutama usai tragedi 11 September 2001, tidak membuat publik Jepang percaya bahwa Islam telah mengajarkan kekerasan. Yang terjadi justru sebaliknya. Semua informasi negatif tersebut seakan menjadi perantara bagi Islam untuk menjadi pusat perhatian banyak orang. Karena stereotipe tersebut, mereka menjadi tertarik untuk mengetahui yang sebenarnya tentang Islam.


''Jumlah orang yang masuk Islam semakin meningkat, baik di Jepang maupun di negara-negara lain, terutama setelah tuduhan yang ditujukan kepada Islam sebagai agama yang mempromosikan kekerasan, pembunuhan, perusakan, huru-hara, dan segala macam bentuk terorisme lainya,'' ujar Muto.
Kebebasan beragama yang telah dinikmati oleh masyarakat Jepang selama ini punya andil yang cukup besar bagi diterimanya Islam di Jepang.

Masyarakat Jepang dengan bebas dapat memeluk Islam sebagai agama. Lebih dari itu, kondisi masyarkat Jepang yang cukup toleran dan lebih mengutamakan akal dan logika memudahkan mereka menerima kebenaran Islam yang ajarannya memang tidak bertentangan dengan akal sehat. Karena berpikir logis itu pula, masyarakat Jepang tidak terpengaruh dengan isu terorisme yang menyudutkan Islam oleh pihak-pihak tertentu.


Untuk memantapkan nilai-nilai keislaman dan dakwah pada masyarakat Jepang, sejumlah kelompok Islam di Negeri Matahari Terbit ini mendirikan sejumlah organisasi keislaman, di antaranya adalah Japan Association of Middle East Studies (JAMES).


Secara aktif, JAMES menyelenggarakan kajian-kajian (dalam bentuk seminar ataupun diskusi) seputar Islam. Dari hasil pengkajian Islam yang intensif dilakukan di kampus-kampus terkenal di Jepang itu, lahirlah sarjana-sarjana Islam Jepang sekaliber Prof Sachiko Murata, pengarang buku The Tao of Islam yang terkenal itu. Prof Murata sendiri akhirnya memeluk Islam setelah belajar Islam di Fakultas Teologi University of Tokyo.


Minim fasilitas


Komunitas Islam di Jepang hingga kini masih menemui kendala berupa minimnya ketersediaan buku-buku dan literatur Islam, terutama dalam bahasa Jepang.Padahal, keberadaan buku-buku dan literatur mengenai Islam ini, menurut Muto, diperlukan sebagai modal dakwah Islam di Negara Matahari Terbit ini.


Karena itu, ia meminta semua yayasan Islam internasional, seperti Al-Azhar, Dewan Tinggi Urusan Islam Kairo, serta Rabithah al-Alam al-Islami, untuk menyediakan buku-buku yang menerangkan hakikat Islam dengan metode yang mudah dan sederhana dalam berbagai bahasa dunia.


Upaya menerjemahkan buku-buku dan literatur Islam di negeri Jepang sebenarnya sudah mulai dirintis oleh Japan Muslim Association (JMA). Organisasi Islam yang sudah berdiri sejak 1953 ini sekarang sangat giat melakukan penerjemahan dan menerbitkan kitab suci Alquran, hadis Nabi SAW, serta buku tentang cara shalat.


Hal ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup signifikan mengingat beberapa tahun yang lalu untuk merekrut anggota saja masih sulit dilakukan oleh organisasi pertama yang menjadi afiliasi utama Muslim Jepang ini. Selain itu, juga ada Hokkaido Islamic Society (HIS) yang tujuan pendiriannya adalah untuk melayani kebutuhan orang-orang Muslim, terutama Muslim asing yang tinggal di Hokkaido.


Sebenarnya, tidak hanya masalah ketersedian buku dan literatur mengenai Islam, kesulitan lainnya yang dihadapi orang-orang Muslim Jepang adalah minimnya ketersediaan fasilitas pendidikan Islam bagi anak-anak serta makanan halal. Hal ini merupakan faktor-faktor tambahan yang menjadi penghalang bagi jalannya dakwah Islam di Jepang.

Dari Kisah Hidup Nabi hingga Misi Dagang


Tidak ada catatan yang jelas ataupun jejak sejarah mengenai kontak antara Islam dan masyarakat Jepang. Tak dapat dipastikan masuknya Islam ke Negeri Sakura ini. Sebuah catatan tak resmi menyebutkan, Islam masuk ke negeri ini melalui penyebaran ide dan pemikiran dari Barat sekitar tahun 1877. Ketika itu, sejarah hidup Rasulullah SAW diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Kisah dan sejarah hidup Muhammad ini menarik perhatian masyarakat, termasuk kalangan intelektual Jepang.


Hubungan lebih lanjut terjalin ketika Pemerintah Jepang menjalin aliansi perdagangan dengan Pemerintah Turki Ottoman. Ketika itu, Kesultanan Turki Ottoman mengirimkan utusan berupa armada angkatan lautnya ke Jepang pada tahun 1890. Tujuan dari misi diplomatik ini adalah untuk menjalin hubungan antara dua negara dan saling mengenal satu sama lain. Armada angkatan laut ini dinamakan Ertugrul. Armada ini kemudian terbalik dan kandas di tengah perjalanan pulangnya.


Dari 600 penumpang, hanya 69 orang yang selamat. Pemerintah atau rakyat Jepang bersama-sama berusaha menolong para penumpang yang selamat dan mengadakan upacara penghormatan bagi arwah penumpang yang meninggal dunia. Mereka yang selamat akhirnya dapat kembali ke negara mereka berkat sumbangan yang berhasil dikumpulkan dari seluruh rakyat Jepang. Peristiwa ini menjadi pencetus dikirimnya utusan Pemerintah Turki ke Jepang pada tahun 1891.


Hubungan yang sangat baik dengan Turki ini juga membawa kemenangan bagi Jepang dalam peperangan dengan Rusia yang dimulai pada tahun 1904. Pada saat armada kapal kekaisaran Rusia melintasi Laut Baltik, Turki memberitahukan hal tersebut kepada Jepang. Karena itu, Jepang meraih kemenangannya.


Mengacu kepada sejarah Jepang, Muslim Jepang pertama yang diketahui bernama Mitsutaro Takaoka yang memeluk Islam pada tahun 1909. Usai melakukan ibadah haji, Takaoka mengganti namanya menjadi Omar Yamaoka. Selain Yamaoka, Muslim pertama Jepang lainnya adalah Bumpachiro Ariga. Lewat perjalanan dagangnya ke India dan pertemuannya dengan komunitas Muslim di sana, ia pun menjadi seorang Muslim dan mengganti namanya menjadi Ahmad Ariga.


Sejumlah peneliti menyatakan, orang Jepang yang pertama kali masuk Islam bernama Torajiro Yamada. Yamada pernah mengunjungi negeri Turki sebagai bentuk rasa simpatinya atas kematian para personel armada angkatan laut Turki yang pernah mengunjungi Jepang. Yamada kemudian memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Khalil. Untuk menyempurnakan rukun Islamnya, Abdul Khalil pun menunaikan ibadah haji ke Makkah.


Beberapa waktu kemudian, penyebaran Islam dan perkembangannya di Jepang pertama kali terwujud melalui komunitas Muslim Asia Tengah. Saat itu, perang dunia pertama baru saja pecah dan banyak pendatang Muslim dari Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kurgystan, dan Kazakhstan yang menjadi pengungsi di Jepang.


Hanya beberapa saat setelah kedatangan mereka, banyak orang Jepang yang memeluk agama Islam. Mereka tertarik menjadi seorang Muslim setelah mereka melihat betapa mengesankan dan menariknya sikap yang ditampakkan oleh Muslim dari negara-negara pecahan Soviet ini. Komunitas ini pulalah yang mendirikan masjid pertama di Jepang, yaitu di Kobe, pada 1935. Menyusul periode perang dunia kedua, banyak hal yang dilakukan komunitas ini untuk menginformasikan Islam dan komunitas Muslim kepada orang Jepang, utamanya mereka yang bekerja sebagai tentara.


Inilah periode booming -nya Islam pertama kali di Jepang. Selama periode ini, Islam berkembang pesat melalui organisasi dan sejumlah penelitian. Disebutkan, selama periode ini, tak kurang dari 100 buku dan jurnal tentang Islam diterbitkan. Namun, usai perang dunia kedua, usai pulalah penyebaran Islam di negara ini.


Booming kedua Islam di Jepang kembali terjadi di tahun 1973 seiring terjadinya oil shock atau meroketnya harga minyak dunia. Negara-negara Arab selaku penghasil minyak dunia telah menarik minat perekonomian Jepang. Di sinilah mulai lagi persentuhan antara peradaban Jepang dan Islam yang menjadi agama mayoritas di negara-negara Arab. dia/berbagai sumber