Sayidina Ali, Sang Inspirator Uluhiyah

Oleh : Wawan Susetya
icon_Ali Sayyidina Ali bin Abi Thalib memiliki kepribadian yang penuh inspirasi Uluhiyah atau Ketuhanan. Ali tidak memerlukan proses pengalaman atau tabrakan atau penimbangan dengan dan atas apa pun benda dan peristiwa dalam hidupnya sebagaimana seniornya; Abu Bakar, Umar, dan Usman. Ia tidak perlu menggali ilmu tentang daun dan hujan untuk menemukan kebesaran Allah. Begitu ia memandang daun, yang dijumpainya adalah langsung Allah.

Rasulullah memberikan metafor dengan sabdanya, ''Aku ibarat alun-alunnya ilmu, sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah pintunya (gerbang).''
Pernyataan Rasulullah ini menimbulkan perasaan iri pada kaum Khawarij terhadap Ali. Mereka kemudian mengadakan majelis musyawarah yang dihadiri 10 orang dari kalangan para tokoh. Mereka sepakat menguji Ali: masing-masing akan mengajukan pertanyaan yang sama, tapi harus dijawab oleh Ali dengan jawaban yang berbeda.

Lalu, mereka menemui Ali bin Abi Thalib, masing-masing mengajukan pertanyaan, ''Ya Ali, istimewa manakah antara ilmu dan harta?''
Ali bin Abi Thalib dengan tangkas menjawab pertanyaan mereka satu per satu, yang masing-masing jawaban disertai argumentasi yang berbeda. Jawaban yang disampaikan Ali, yakni: pertama, ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan Qarun, Haman, dan Fir'aun.

Kedua, ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, ilmu selalu menjagamu, sedangkan engkau harus menjaga harta milikmu.
Ketiga, ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, orang berilmu banyak kawan, sedangkan orang kaya banyak musuhnya.
Keempat, ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, ilmu bila diinfakkan (diajarkan) semakin bertambah, sedangkan harta bila diinfakkan semakin berkurang.

Kelima, ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, orang berilmu dipanggil dengan sebutan mulia, sedangkan orang berharta dipanggil dengan sebutan hina.

Keenam, ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, ilmu tidak perlu dijaga, sedangkan harta minta dijaga.

Ketujuh, ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, orang berilmu di hari kiamat dapat memberi syafaat, sedangkan orang berharta di hari kiamat dihisab dengan berat.

Kedelapan, ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, ilmu dibiarkan saja tidak akan pernah rusak, sedangkan harta dibiarkan pasti berkurang (bahkan habis dimakan).

Kesembilan, ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, ilmu memberikan penerang di dalam hati, sedangkan harta dapat membuat kerusakan di dalam hati (seperti menimbulkan sifat takabur, pamer, dan ingkar).

Kesepuluh, ilmu lebih istimewa daripada harta. Sebab, orang berilmu bersikap lemah lembut dan selalu berbakti kepada Allah, sedangkan orang berharta seringkali memiliki sifat takabur dan ingkar kepada Allah.

Sepuluh orang tokoh Khawarij yang mengajukan pertanyaan kemudian ditantang oleh Ali bin Abi Thalib: ''Seandainya seluruh kaum Khawarij satu per satu mengajukan pertanyaan 'istimewa mana antara ilmu dan harta' tentu aku akan memberikan argumentasi yang berbeda selagi hayat masih di kandung badan.'' Akhirnya kaum Khawarij mengakui kealiman Ali dan mengakui pula kebenaran sabda Rasulullah. Mereka pun tunduk patuh kepada Ali.

Demikianlah kehebatan Ali, kemenakan dan kader gemblengan Rasulullah. Abu Bakar, Umar, dan Usman, serta kita semua berupaya mencapai ''kota'' itu, memasuki lewat ''pintunya'' dengan cara kita masing-masing untuk memperoleh kemungkinan mendapatkan kemuliaan liqa-u Rabb; untuk mengalami pertemuan agung dengan Allah. Kita melewati ''pintu'', sedangkan Ali adalah ''pintu'' itu sendiri.

Sebagian kita ditakdirkan Allah sejak dinihari kehidupan memperoleh jalan lempang memasuki ''kota ilmu'' Tuhan. Bahkan, ada yang memperoleh rahmat dengan sudah berada di dalamnya tanpa susah payah. Tapi, tak sedikit juga di antara kita yang malah sibuk mencari jalan keluar dari ''kota Tuhan''. swaramuslim.net