Salam Sejahtera Atas Kelahiran Isa al Masih Dalam Al Quran 2

Menurut Ibnu Katsir, maksud ayat 33 Surat Maryam tersebut merupakan sebagian dari ketetapan Nabi Isa atas dirinya sebagai hamba Allah dan dia hanya merupakan makhluk, sebagimana makhluk Allah lainnya. Beliau mengalami hidup, mati, dan dibangkitkan kembali sebagaimana makhluk lainnya pula.9 Prof. DR. (Buya) Hamka menyoroti bahwa maksud ayat tersebut pada dasarnya merupakan sebuah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Isa agar diberikan keselamatan dan kesejahteraan mulai dalam kehidupan di dunia yang ditandai dengan sejak kelahirannya, ketika telah mati yaitu saat berada di alam kubur, dan pada hari kiamat pada masa kebangkitan.10 Tengku Hasbi Ash Shiddieqy memaknai bahwa ayat ke 33 Surah Maryam tersebut maksudnya adalah penekanan pada pembelaan Nabi Isa yang ibunya, Maryam, telah dituduh sebagai wanita pezina oleh kalangan Yahudi.

Masyarakat Yahudi tidak dapat menerima bahwa Isa adalah seorang utusan bagi mereka.11 Senada dengan Buya Hamka, M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa ayat tersebut merupakan doa Nabi Isa bahwa salam yakni keselamatan besar dan kesejahteraan sempurna tercurah atas diri beliau serta terhindarkan dari aib dan bencana serta kekurangan pada hari kelahiran, pada hari meninggal dunia, dan pada hari kebangkitan kelak di padang Mahsyar. Lebih lanjut Quraish Shihab menegaskan bahwa ayat tersebut sama sekali tidak terkait dengan ucapan “Selamat Natal”. Pengucapan “Selamat Natal” tersebut terkait dengan Ketuhanan Yesus Kristus, sebagimana diyakini kaum Kristen, jelas bertentangan dengan keimanan karena mengaburkan keyakinan azasi Islam.12 Quraish Shihab nampaknya masih memberikan kelonggaran berupa batasan bahwa ucapan “Selamat Natal” tersebut masih sesuai dengan semangat Al Quran maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Mengenai hal ini maka akan penulis bahas lebih lanjut.13

Dari pembahasan di atas memang telah tegas bahwa kedua agama tersebut memiliki konsep yang berbeda terhadap sosok yang kurang lebih adalah sama. Dengan kata lain dapat ditegaskan pula bahwa semua agama tidak sama dan konsekuensinya tidak semua agama benar. Namun perbedaan tersebut tidak harus dimunculkan sebagai potensi konflik. Justru perbedaan konsep teologis antara kedua agama tersebut hendaknya dipahami secara mendalam. Jika permasalahanya terkait hubungan antar umat beragama, maka persoalannya bukan terletak pada ucapan selamat hari raya antar agama. Kerukunan tersebut seharusnya lebih merupakan kesadaran setiap umat beragama sebagai sesama ras manusia. Islam disatu sisi telah memiliki sumber-sumber teologis yang cukup untuk menyusun sebuah kerangka kerukunan antar umat beragama. Piagam Madinah, misalnya, merupakan material source yang telah cukup mamadai guna menghasilkan konsep tersebut. Apalagi ketentuan Rasulullah SAW dalam Piagam Madinah tersebut telah secara meyakinkan mampu dibuktikan untuk mengatur pemerintahan Madinah yang multi etnis dan multi-agama. Di lain pihak perbedaan tidak selalu menjadi sumber konflik jika sikap saling pengertian telah terbina sejak awal. Dalam banyak kejadian, upaya menghilangkan sejumlah perbedaan antar agama dengan mengaburkan nilai-nilai agama yang bersangkutan justru merupakan sumber rentan pemicu konflik.

Nabi Isa dalam pandangan Islam merupakan salah satu Nabi yang diyakini diantara nabi-nabi Allah lainnya. Beliau juga merupakan salah satu Nabi dalam ‘ulul azmi. Terkait dengan proses kelahiran Nabi Isa, Al Quran memiliki informasi tersendiri secara mandiri yang secara diametral sangat berbeda dengan keterangan dari Perjanjian Baru, kitab suci umat Kristen. Proses kelahiran yang tidak sama ini, harus disadari sejak awal, juga akan melahirkan konsepsi yang berbeda pula.

Al Quran memberikan informasi bahwa Isa alaihi as salam dilahirkan oleh ibundanya, Maryam, di bawah pohon Kurma yang sedang masak buahnya. Informasi ini akan dapat digunakan untuk merekonstruksi waktu kelahiran berdasarkan versi Islam. Adapun Ayat Al Quran tersebut adalah sebagai berikut:

(23). Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya Aku mati sebelum ini, dan Aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan”. (24). Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, Sesungguhnya Tuhanmu Telah menjadikan anak sungai di bawahmu. (25). Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,

Dengan asumsi bahwa Nabi Isa lahir di wilayah Betlehem, Palestina, maka kelahiran tersebut telah terjadi pada musim kurma sedang masak. Pohon kurma termasuk pohon musiman dan kematangan buah kurma biasanya memang tidak bisa serentak pada waktu yang sama. Walaupun tidak masak bersamaan kurma di palestina, secara umum, telah mengalami puncak kematangan pada musim panas. Keterangan yang lebih jelas adalah kurma tidak mungkin masak pada musim dingin atau penghujan. Berdasarkan hal ini maka telah jelas, Al Quran mengisyaratkan bahwa kelahiran Isa terjadi pada musim panas. Waktu tepat untuk kematangan kurma itu sendiri adalah antara bulan Maret sampai Juni. Jadi dalam interval kedua bulan itulah Nabi Isa telah dilahirkan oleh Maryam ke dunia. Penggunaan interval waktu dalam kedua bulan tersebut telah mempertimbangkan kematangan kurma yang tidak serempak. Namun masih berada dalam satu musim panas.

Sementara umat Kristen telah meyakini bahwa Yesus lahir pada tanggal 25 Desember dimana setiap tahunnya hari tersebut diperingati sebagi hari Natal. Pada bulan Desember tersebut, matahari berada pada titik balik musim dingin. Dengan kata lain Betlehem sedang mengalami musim dingin. Sedangkan kurma tidak mungkin masak pada musim dingin tersebut. Dengan demikian, semakin jelas sudah bahwa konsep kelahiran Nabi Isa dalam Al Quran dan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal adalah dua hal yang berbeda dan sukar dikompromikan.

Bagi umat Islam, mengucapkan selamat natal kepada penganut agama Kristen sama artinya dengan mengingkari informasi yang diberikan oleh kitab sucinya sendiri. Di lain sisi, pada saat yang sama umat Islam dilarang untuk bermental hipokrit (munafik). Maka, dengan alasan bahwa ucapan selamat Natal tersebut hanya sekedar untuk menjaga hubungan erat dan tidak perlu menjadi keyakinan pun, misalnya sekedar sebagi basa basi, tetap harus dihindari. Sebab konsekuensinya berhubungan dengan keyakinan paling mendasar yaitu terhadap kebenaran informasi dari Allah dalam Al Quran.

Menurut hemat penulis, dengan penjelasan yang demikian, kalangan Kristen sekali pun akan menghargai dan menghormati keyakinan umat Islam dalam menjalankan ajaran agama yang berasal dari kitab sucinya. Hal inilah tindakan bijaksana yang harus dilakukan apabila isu toleransi dan kerukunan umat bergama memang bukan sekadar retorika atau penghias bibir belaka atau bahkan kamuflase kepentingan yang dibungkus dengan memanfaatkan isu tersebut. Sekali lagi, menganjurkan umat Islam untuk mengucapkan selamat Natal dengan mengabaikan keyakinannya, justru merupakan tindakan anti-toleransi dan merusak kerukunan antar umat beragama.

Secara mengejutkan, temuan penulis tentang kelahiran Yesus dalam Perjanjian Baru sangat berbeda dengan keyakinan Kristen yang mempercayai 25 Desember sebagi hari Natal. Keterangan Perjanjian Baru tentang lahirnya Yesus, senada dengan informasi yang diberikan oleh Al Quran, ditengarai terjadi pada musim panas. Dengan demikian bukan terjadi pada bulan Desember dimana terjadi musim dingin. Perjanjian Baru dalam Lukas 2 : 8-11 menceritakan suasan kelahiran tersebut sebagi berikut:

(8). Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. (9). Tiba-tiba berdirilah malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan. (10). Lalu kata malaikat itu kepada mereka: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa. (11). Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.14

Berdasarkan keterangan Lukas 2 : 8-11, Yesus lahir pada saat para penggembala ternak berada di padang Yudea untuk menjaga kawanan ternak yang mereka gembalakan pada suatu malam. Kejadian tersebut tidak mungkin terjadi pada bulan Desember. Sebab wilayah Yudea, setiap bulan Desember memasuki musim penghujan dan hawa malam harinya sangat dingin. Faktanya, paling lambat tanggal 15 Oktober, ternak yang digembalakan di padang Yudea sudah harus berada di kandangnya untuk menghindari hujan dan hawa dingin yang menusuk tulang.15

Perjanjian Lama dalam Ezra 10 : 9 dan 13 secara tersendiri telah menjelaskan bahwa bila musim dingin tiba, hawa yang ditimbulkan sampai membuat tubuh menggigil dan tidak memungkinkan orang, termasuk penggembala dan ternaknya, berada di udara terbuka, apalagi pada waktu malam. Adapun kedua ayat Perjanjian Lama tersebut adalah sebagai berikut:

Lalu berhimpunlah semua orang laki-laki Yehuda dan Benyamin dari Yerusalem dalam tiga hari itu, yakni dalam bulan kesembilan pada tanggal dua puluh bulan itu. Seluruh rakyat duduk di halaman rumah Allah sambil menggigil karena perkara itu dan karena hujan.16

Tetapi orang-orang ini besar besar jumlahnya dan sekarang musin hujan sehingga orang-orang tidak sanggup berdiri di luar. Lagipula pekerjaan itu bukan perkara sehari dua hari, karena dalam hal itu kami telah melakukan pelanggaran.17

Bersambung…..