Perbedaan Idul Fitri

By Republika Newsroom
Perbedaan Idul FitriMengherankan. Ketika terjadi perbedaan Idul Fitri tempo hari, seperti juga tahun sebelumnya, lagi-lagi umat Islam tidak hanya geger; bahkan ada yang saling kecam. Seolah-olah pihaknya yang benar dan di surga, sedangkan pihak yang lain keliru dan di neraka. Mungkin Tuhan ingin mencolok mata dan mempermalukan kita yang sejauh ini tak kunjung dewasa. Tak kunjung mampu berbeda. Lalu Ia menurunkan berbagai ''fenomena kontroversial'' seperti, antara lain, perbedaan Ied itu. Namun apakah hal itu bukan pula merupakan alamat kerancuan cara berpikir keberagamaan di kalangan kita, umat Islam ini. Kerancuan yang membuat sikap keberagamaan kebanyakan kita menjadi tidak seimbang.

Dalam kasus Ied itu, dan dalam banyak kasus yang lain, bukankah -pethenthengan- (maaf, saya tidak mendapatkan padanan kata ini dalam bahasa Indonesia) mereka semata-mata didorong oleh keinginan -ngepas-pas--kan ibadah (baca: memenuhi hak-hak Allah), misalnya puasa pas waktunya, lebaran pas waktunya? Lalu karenanya, mereka sampai harus berkelahi dengan sesama. Seolah-olah menjaga hubungan baik dengan sesama (hak-hak sesama hamba Allah) bukan merupakan ibadah.

Hal itu, -ngepas-pas--kan hak Allah sampai-sampai melanggar ''hak-hak hamba Allah'', menurut saya, aneh. Bukankah Allah sendiri dan Rasul-Nya sudah menyatakan tegas-tegas, tidak menghendaki kita sulit atau mempersulit dalam agama (baca, misalnya, Q. S. 2: 185 dan Q. S. 22: 78 serta Hadis-hadis -shahih- tentang kemudahan dan -samahah--nya agama Islam).
Apalagi bila diingat bahwa Allah -- di samping sangat murah dan gampangan untuk hak-hak-Nya -- begitu menghargai dan menganggap amat penting ''hak-hak'' hamba-Nya; sampai-sampai ada hadis -sahih- (riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah) yang menerangkan betapa gawatnya nasib seorang muslim -- yang -notabene- patuh melaksanakan salat, puasa, dan zakat (yang merupakan hak-hak Allah) -- kelak di akhirat jika ketika di dunia menginjak-injak hak sesamanya. Apakah memang sudah sedemikian individualnya dimensi keberagamaan kita, sehingga kita tak mampu melihat bahwa hak-hak sesama pun sebenarnya adalah hak-Nya? ahi