By Hidayat Nur Wahid
Demikianlah (perintah Allah SWT) dan siapa pun yang senantiasa mengagungkan syiar-syiar Allah (berupa segala amalan dan aktivitas yang dilakukan dalam rangka ibadah haji, beserta tempat-tempat dilaksanakannya ibadah tersebut), maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati. (QS Al Haj: 32). Dalam bulan Februari ini, ketika sebagian kalangan ikut-ikutan meramaikan hari kecintaan material dengan Valentine Days-nya, umat Islam mempunyai kecintaan yang jauh lebih bermakna dan bermaslahat, itulah kecintaan kepada ibadah haji. Sebab, bulan Februari kali ini bersesuaian dengan bulan Dzul Qo'dah, saat umat Islam berbondong-bondong ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji.
Ada berbagai alasan, mengapa umat Islam khususnya bahkan umat manusia umumnya, begitu cinta dan responsif terhadap haji (perhatikan QS Al Haj: 27). Pertama: Prosesi berhaji, ia menyambungkan dengan cepat antara kita dan nilai-nilai di balik peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan dengan Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad saw. Kedua nabi (Ibrahim dan Muhammad saw) yang secara khusus memerintahkan kita untuk mengikutinya sebagai suri teladan dalam mengisi kehidupan (perhatikan QS Al Mumtahanah: 4, Al Ahzab: 21). Jamaah haji pun dapat meresapinya berlama-lama di sana, dan di zaman serba krisis seperti ini, suri teladan bagi kehidupan adalah makhluk langka, yang justru sangat diperlukan.
Kedua: Haji, seperti disimpulkan oleh Prof Dr Wahbah Zuhaili adalah rukun Islam yang paling afdhal, pada hajilah tergabung sekaligus bentuk-bentuk ibadah murni spiritual, fisikal, serta material. Demonstrasi praktek berhaji, sejak kain ihrom nan putih dikenakan, sejak gemuruh talbiyah dilantunkan, kemudian thawaf, sa'i, wukuf, mabit, melontar jumrah, dan kemudian tahallul, yang secara khusuk dan tekun dilaksanakan oleh jamaah haji, itu semua menyegarkan kembali tentang makna ketaatan dan ketundukpatuhan manusia untuk merealisasi salah satu tugas utamanya di dunia, yaitu beribadah kepada Allah semata.
Tunduk dan patuh itu pun semakin bermakna, sebab kini di awal milenium baru, ia dilakukan secara terbuka oleh jutaan orang dari kalangan yang terpelajar ataupun berstatus sosial ekonomi yang memadai. Apalagi ketundukan itu pun dilakukan dalam semangat ittiba' (mencontoh) Rasulullah saw, sebagaimana pernah beliau wasiatkan dalam Haji Wada' (HR Muslim). Dan, inilah kunci meraih kecintaah Allah dengan segala efek keberkahannya (QS Ali Imron: 31).
Dengan cara pandang semacam ini, keberangkatan 180-an ribu jamaah haji Indonesia untuk bergabung dengan jutaan jamaah haji lainnya, pastilah berdampak positif bagi mereka sendiri yang akan meluber kepada kita, yang belum atau tidak berangkat haji (QS Al Haj: 23). Jamaah haji itu pun akan menjadi darah segar pembawa harapan baru untuk kehidupan yang lebih berarti dan bermanfaat. Dan adanya harapan semacam itu, seperti dinyatakan Ibnu Khaldun, jelas sangat diperlukan oleh masyarakat yang dilanda krisis seperti masyarakat Indonesia.
Semoga mereka mendapatkan haji mabrur, dan doanya untuk kebaikan sesama dikabulkan Allah SWT. Amin. ahi