Jacian Fares, Angkatan Laut AS yang Memilih Islam

image readingislam.com

Jalan untuk menemukan Islam yang dilalui Jacian Fares tergolong terjal. Sebelum masuk Islam, dia terlebih dulu melewati masa peperangan di Irak. Orang-orang yang diperangi saat itu mayoritas umat Muslim. "Sebenarnya saya sama sekali tidak setuju dengan peperangan itu. Tapi sebagai anggota angkatan laut AS, saya tidak punya pilihan," ujar dia seperti dikutip Islamonline.net.

Jacian adalah pria keturunan dari keluarga Fares yang berkedudukan di Hebron. Ayahnya lahir di Lebanon dan ibunya keturunan Spaniard (warga asli Spanyol). Dia adalah generasi pertama dari keluarga Fares yang lahir di Amerika, persisnya di Dearborn, Michigan. Ayahnya bukanlah orang yang taat beragama. Tapi kakek dan neneknya Muslim yang saleh.

"Saya bisa membayangkan betapa sedihnya kakek dan nenek saat mengetahui bahwa keluarga kami tidak beragama," imbuh dia. Setelah tumbuh di Amerika, dia kemudian menghabiskan masa remajanya di Lebanon. Dialah satu-satunya anak dari tiga bersaudara yang bersedia untuk menjalani masa remaja di Lebanon selama enam tahun. Inilah saat pertama bagi Jacian untuk bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat Timur Tengah.

Dari Lebanon, dia kembali ke Amerika dan bergabung dengan angkatan laut AS. Saat Amerika menginvasi Irak di tahun 2003, dia termasuk salah satu personel yang ikut bergabung dalam pasukan koalisi. Hati kecilnya sangat kuat menolak perintah itu, tapi sebagai prajurit, dia harus menjalankan perintah.

Saat itu, dia ditugaskan di Fallujah dan kota-kota lain di Provinsi Al Anbar. Pengalaman ini menjadikannya semakin paham tentang kehidupan masyarakat lokal. Saat Ramadhan tiba, dia pun menyaksikan ketaatan warga setempat terhadap agama yang dipeluknya, yakni Islam. Ini menjadi bekal penting dalam kehidupannya di masa mendatang.

Saat bertugas di Fallujah, dia tertembak dan harus ikhlas kehilangan satu ginjalnya. "Ini kehendak Allah SWT," tutur dia. Jacian pun mengaku yakin bahwa Allah memiliki alasan yang sangat kuat saat menentukan takdir bagi hamba-hamba-Nya.

Mulanya, dia mengaku sangat tertekan dengan kejadian itu. Kondisinya bertambah buruk saat keluarga pelan-pelan meninggalkannya. Kegiatan rutin yang biasa dijalankannya pun tidak bisa lagi dilakukan. Latar belakang kakek, nenek, dan pamannya yang beragama Islam, membuatnya mendapat titik cerah. Hatinya semakin kuat untuk menuju Islam saat seorang wanita asal Kuwait yang ditemuinya pun menyarankan dia untuk masuk Islam.

Sepanjang Agustus 2008 Jacian banyak menghabiskan waktunya untuk mulai membaca Alquran. Hatinya pun tersentuh. "Kuat sekali sentuhannya dibanding saat saya membaca Injil maupun Taurat," ungkap dia. Dari situlah kemudian dia menemukan Islam secara utuh. Akhirnya, dia pun menjalani kewajibannya sebagai pemeluk Islam dan merasa kehidupannya menjadi jauh lebih baik.

Lewat Islam, dia menemukan banyak sahabat dari berbagai negara di Timur Tengah. Sebagian temannya datang dari Palestina, Yordania, Qatar, Mesir, juga beberapa negara lain. Tahun lalu, adalah tahun kedua baginya menjalani puasa Ramadhan. Sayang, dia tidak bisa ikut berpuasa karena gangguan ginjal. Dan tahun itu pula, ulang tahunnya jatuh bertepatan dengan Idul Fitri.

Meski kini tinggal sendiri di Amerika, dia tidak pernah merasa hidup sendirian. Umat Islam di sekitarnya sudah dianggap sebagai keluarga. "Agama telah menjadikan kita bisa hidup bersama seperti ini," imbuh Jacian. Dia pun menganggap Islam sebagai agama yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupannya.

Dia mengaku sangat menyukai Ramadhan. Hadirnya Bulan Suci ini menjadikannya semakin kuat berkeinginan untuk menjadi Muslim yang baik. Sebagai Muslim, Jacian pun meyakini bahwa dirinya bisa ikut berkontribusi untuk menjadikan kehidupan ini menjadi lebih baik.

Redaksi - Reporter

Red: irf

Sumber Berita: readingislam