Setelah melakukan berbagai penelitian dan diskusi yang panjang tentang kebenaran baik dengan tokoh Katolik maupun Islam, Lasiman, mantan misionaris yang juga tetangga dari Mbah Marijan, yang tinggal di dekat Gunung Merapi, Yogyakarta itu alkhirnya mengucapkan syahadat. Ia pun berusaha untuk mengembalikan mereka yang pernah dimurtadkannya.
Berikut kisahnya :
Aku dulu seorang penganut Katolik . Nama kecilku Lasiman. Aku lahir dari orang tua kejawen. Namun sejak kecil dididik secara formal di sekolah Katolik di samping Gereja di Sleman Yogyakarta. Aku pun mendapat pendidikan agama Katolik. Alhasil aku menjadi penganut Katolik. Aku diberi nama baptis Willibrordus. Kemudian diberi nama baptis kader penguatan Romanus. Selanjutnya aku belajar di sekolah guru milik yayasan Katolik yang didirikan tahun 1822.
Aku dididik menjadi guru misi, sehingga aktivitas yang ada selalu terkait dengan kegiatan misi Katolik seperti melatih teater untuk tampil di Natalan, Paskah, dan lainnya. Aku pun aktif di tim koor lagu-lagu Katolik, acara-acara Natal, Paskah, dalam rangka dakwah misi Katolik lainnya.
Guru-guru sekolah Katolik saat itu dapat pembinaan khusus sebagai guru misionaris. Kami dilatih dari Keuskupan Agung Semarang dan dari Gereja Pintaran di Yogya. Kami mendapat pelatihan terkait kurikulum pendidikan, dan bagaimana mengajar di sekolah-sekolah untuk mengaburkan keislaman para siswa melalui pendidikan sejarah. Kami diajarkan bahwa yang menyebarkan agama Islam di Indonesia itu bukan hanya 9 wali tapi 10 wali yang salah satunya itu Syekh Siti Jenar. Syeikh Siti Jenar itu mengenalkan istilah manunggaling kaulo gusti, menyatunya tuhan dan manusia. Diajarkan di dunia ini, bahwa yang menyatunya tuhan dan manusia yang paling hebat dan melebihi Syekh Siti Jenar adalah menyatunya Tuhan Allah dengan Yesus. Jadi diajarkan bahwaYesus itu wujudnya manusia tapi rohnya Allah.
Tugas seorang misionaris yang paling prinsip adalah mengubah orang Indonesia yang mayoritas Muslim ini menjadi orang-orang Nasrani. Salah satunya itu melalui lembaga pendidikan. Makanya wajar meski UU Sisdiknas ini sudah diundangkan tapi nyatanya belum dipraktekkan di Yayasan Katolik dan Kristen. Hal itu bisa dibaca di buku saya berjudul Kristenisasi Berkedok Islam.
Pada 1977 setelah dilatih di Keuskupan Semarang untuk menyebarkan Katolik di Jawa Barat, aku kemudian ditempatkan di Garut. Ketika di Garut lah aku bertemu dengan Profesor Dr Anwar Musyaddad, di Pondok Pesantren Musyaddadiyah. Beliau saat itu adalah Rektor IAIN Bandung. Kami berdialog tentang kebenaran yang ada. Kebetulan beliau juga paham tentang Kristologi dan perbandingan agama.
Kebiasaan dialog tentang kebenaran sebenarnya aku lakukan juga ketika aku sekolah di Kemaritiman dan Sospol UGM waktu itu. Dialog merupakan salah satu cara bagaimana untuk mengkristenkan mahasiswa.
Masuk Islam
Dialog juga aku lakukan dengan para pimpinan Katolik. Karena banyak hal yang ingin aku pertanyakan dan butuh jawaban yang memuaskan seperti perbedaan Katolik dan Protestan, dosa warisan dan lainnya. Ketika aku belajar Tafsir di Katolik kemudian belajar tafsir Al Kitab Kristen, banyak perbedaan di antara keduanya. Tafsir Al kitab di Katolik lebih rendah dibandingkan Protestan. Perbedaan antara Katolik dan Kristen itulah yang aku diskusikan dengan pimpinan-pimpinanku saat itu, namun itu tidak bisa terjawab.
Setelah berdialog lama dengan Profesor Anwar Musyaddah akhirnya aku pun masuk Islam. Aku secara resmi mengikrarkan syahadat di Kantor Depag Yogyakarta, 15 April 1980. Aku mememukan kebenaran di Islam. Dari hasil dialog dan penelitian itu aku memperoleh kesimpulan bahwa orang yang hidup itu pasti mati, mati itu harus membawa kebenaran, kebenaran itu ada di kitab suci dan kitab yang benar itu Alquran.
Setelah masuk Islam aku kemudian belajar di sebuah pesantren di Cirebon. Aku ingin mendalami Islam lebih dalam. Aku melihat begitu banyak orang yang mengaku Islam tapi mereka tidak mendalami Islam. Itu tantangan ketika aku hidup di lingkungan Islam. Aku ingin berislam secara ilmiah Karena memang aku sudah biasa dilatih seperti itu di sekolah misi Katolik. Aku pikir kalau berislam dengan tidak ilmiah itu omong kosong. Tapi setelah aku belajar di pesantren, aku rasa itu tidak cukup. Hingga akhirnya aku kuliah mengambil sarjana muda di IAIN Cirebon. Tapi di IAIN juga tidak cukup. Akhirnya aku pikir aku harus selalu mempelajari Islam.
Aku kemudian pulang ke Yogja dan melanjutkan kuliah di S1. Selanjutnya melanjutkan belajar di psikologi Islam di UMJ dengan tesis konversi agama yang diuji beberapa professor. Dalam tesis itu dibahas bagaimana orang Islam yang haji bisa masuk Kristen dan aktivis Kristen bisa tobat. Setelah aku paham Islam, dan tahu kewajiban dalam Islam itu berdakwah maka aku pun mendakwahkan kebenaran itu ke orang-orang.
Tantangan
Banyak tantangan kuhadapi setelah masuk Islam. Banyak teman-temanku yang tidak menyukai ketika tahu aku masuk Islam.. Ketidaksukaan mereka itu disampaikan baik secara lisan, fisik, sampaikan dengan hukuman. Termasuk itu datang dari keluarga.
Menurutku itu sudah biasa, sebab Rasulullah juga mengalaminya. Kalau Rasulullah dulu dikatakan orang kafir Quraisy sebagai majnun (gila), maka itu juga yang aku alami. Aku juga dikatakan majnun.
Aku pikir itu wajar. Itu sudah menjadi sunnatullah. Lihat saja dalam QS Al Baqarah ayat 155-156 dan 214. Jadi kalau berislam apalagi baru masuk Islam itu tidak ada tantangan, atau ketika menegakkan agama Rasulullah itu tidak ada tatangan itu justru tidak benar.
Aku tetap memegang teguh kebenaran Islam. Aku yakin akan firman Allah SWT: innamal yusri yusro. Untuk mencapai kesuksesan itu harus berani menerima tantangan dan penderitaan. Jika tak ada tantangan dan penderitaan itu maka tak akan ditemukan kebahagiaan.
Setelah masuk Islam, hatiku mantap dan merasakan ketenangan. Itu karena kebenaran yang kutemukan ini adalah kebenaran ilmiah yang bisa diterima dengan hati, akal dan pikiran. Tapi sayang, meski ajaran Islam ini benar tapi orang-orangnya banyak yang belum benar.
Ketika menjadi misionaris, banyak orang-orang Muslim yang berhasil kumurtadkan. Jumlahnya ribuan orang. Saat itu kami lakukan diantaranya dengan membagi-bagikan susu, pakaian dan lainnya. Semuanya itu dilakukan tidak sendirian, tapi secara terpadu.
Karena itu, setelah masuk Islam, aku ingin mengem-balikan yang murtad itu kepada Islam. Kami kemudian mendirikan lembagai Al Mantik 1991 di Jakarta bersama M Natsir. Kami pun mendekla-rasikan orang-orang masuk Islam se-ASEAN. (Olahan Wawancara, pendi/mediaumat) swaramuslim.net