Film 'Deen Tight': Muslim Mualaf, Bertahan di Barat, Setia terhadap Musik

image REPUBLIKA.CO.ID, Ketika sebagian Muslim mengecam musik barat sebagai negatif dan tak bermoral, seorang sutradara film Amerika sekaligus mualaf, tertarik untuk menyajikan konstelasi musik dalam prespektif lebih benar sejauh sejalan beriringan dengan Islam. Ia mengolahnya dalam film dokumenter berjudul Deen Tight (Agama Ketat)

Dalam film dokumenter tersebut, Mustafa Davis menyajikan mulai dari San Fransisco, berbagai artis hip-hop Muslim di Amerika Serikat dan Inggris. Mereka berbicara mengenai bagaimana mereka mengatasi tantangan dan merekonsiliasi keyakinan mereka sebagai Muslim dengan budaya

Dalam sebuah wawancara terkini, Mustafa, 38,  yang baru saja berkeliling ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia pada akhir September lalu, membagi pandangannya seperti dilansir oleh Deen Tight.

Ketika saya memeluk Islam pada 1996, yang saya pahami musik adalah tabu bagi Muslim. Jadi saya berhenti mendengarkan musik dan berkonsentrasi penuh belajar mendalami agama saya.

"Tapi saya merasa ada ruang kosong mengingat masa lalu saya dibentuk oleh budaya di mana saya tumbuh besar. Musik dan tarian adalah bagian utama dari pengalaman itu. Ternyata banyak teman saya sesama mualaf memiliki pengalaman yang sama

"Saya pun memutuskan untuk bergaul dengan beberapa artis Muslim yang saya tahu terlibat dalam aktivitas musik hip-hop. Saya ingin mengeksplorasi topik tersebut dan menggali lebih dalam ke dalam psikologi artis-artis tersebut yang selalu berupaya memelihara keseimbangan antara budaya dan keimanan yang sepertinya terlihat bertolak belakang.

"Sebagai seseorang yang pernah memiliki pengalamn serupa, saya yakin saya mampu menuturkan kisah itu dari sisi paling pribadi. Inilah awal mula Deen Tight lahir."

Lalu apa yang memotivasinya menjadi seorang sutradara? "Saya selalu menjadi orang visual. Saya melihat dunia dari kerangka. Saya ingin menjadi seorang penulis dan menceritakan kisah. Ayah tiri saya adalah fotografer dan saya belajar fotografi banyak darinya ketika berusia 13 tahun. Saat di bangku SMA, saya belajar seni dan fotografi, ketika kuliah sayab belajar fotojurnalisme.

Saat saya mengetahui kamera video, saya menemukan alat itu sebagai kombinasi semua seni yang saya suka, penuturan, penulisan, gambar dan musik. Jadi membuat film seperti panggilan dan pilihan alam bagi saya untuk mengekspresikan diri.
"Saya mencurahkan seluruh diri saya dalam film. Ketika karakter saya menangis, saya akan menangis juga. Sehingga secara emosional bisa sangat melelahkan. Setiap kali saya selesai membesut film, saya berkata pada diri saya bahwa saya tidak akan lagi membuat film lain. Namun saya tak bisa memenuhi ucapan itu."

Apakah Islam selalu menjadi fokus utama dalam film dokumenternya. "Saya membuat film dokumenter tentang semua topik yang saya anggap menarik. Saya pernah membuat film dokumenter berjudul 'One Heart Africa' yang fokus pada anak yatim piatu di Afrika. Mereka mengidap AIDS dan HIV.

Semua yang saya wawancara adalah Kristiani. Menjadi Muslim adalah bagian dari siapa diri saya. Tetapi saya juga seorang anak, suami, ayah, teman, musisi dan warga negara dunia."

Soal pandangan yang menyatakan Islam melarang seni dan musik, ia pun memiliki pandangannya sendiri. "Beberapa karya seni besar sepanjang sejarha di dunia dihasilkan oleh Muslim. Namun banyak orang selip memahami Islam dan mengklaim Islam mengecam seni karena membuang waktu.

Lihatlah Masjid Biru di Turki, yang menjadi salah satu struktur arsitetur terindah di dunia. Seni selalu menjadi bagian dari tradisi Islam. Jadi Islam mendorong semangat kreatifitas.

Lantas apa pandangannya mengenai perjalanan menuju Islam. "Saya berusia 24 tahun ketika menjadi Muslim. Saya lahir dari keluarga Katholik tapi itu hanya sekedar nama. Saya besar dengan banyak pengaru buruk. Saya lelah dengan gaya hidup saya dan ingin kembali ke religiusitas.

"Seorang teman memperkenalkan saya kepada Islam dan berbicara mengenai Rasul Muhammad. Tapi saya berkata padanya bahwa saya tak akan pernah menjadi Musim.

"Malam itu, saya pergi ke toko buku untuk membeli injil. Saya juga sempat melihat buku tentang Rasul Muhamma. Kemudian saya meraih satu Al Qur'an dari rak buku dan menangis ketika membacanya. Dua hari kemudian saya telah memeluk Islam.

"Saya menghabiskan 11 tahun belajar Islam dan saya tidak menemukan sesuatu petunjuk yang mengatakan bahwa saya harus menjadi seorang Arab untuk menjadi Muslim. Faktanya, ketika Rasul Muhammad bertemu dengan suku-suku tertentu, ia akan berbicara dengan bahasa ibu mereka untuk menghormati. Ia tak memaksa suku-suku itu berbicara dalam dialek mereka.

Rasul bahkan berpakaian seperti para suku itu berpakaian. Ini menunjukkan bahwa Rasul pun menghormati budaya-budaya lain.

"Saya juga memelajari bahwa Islam seperti sungai dan kultur anda seperti tepian. Islam akan membersihkan yang tidak murni. Namun inti budaya anda tetap ada. Selalu ada selip pemahaman bahwa Islam dan budaya barat tidak bisa bercampur. Jika itu benar, maka orang seperti saya tak pernah ada. Saya adalah orang yang beralih keyakinan menjadi Muslim. Saya seorang Muslim Amerika.

"Sungguh menguras banyak air mata dan saya melalui banyak hal sulit untuk menyeimbangkan keyakinan saya sebagai Muslim dan budaya Barat. Saya tahu banyak mualaf Amerika yang menyerah terhadap Islam meski mereka masih meyakini dan menghormati agama itu. Itu lantaran mereka tak bisa menghadapi tekanan untuk menjadi orang lain yang bukan diri mereka sendiri.

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari

Sumber: The Sun Daily