By A Ilyas Ismail
Dalam kalender hijriyah, bulan yang mengiringi Ramadhan dinamai bulan Syawal. Pada zaman dahulu, masyarakat Arab pra-Islam memiliki pandangan negatif mengenai bulan ini. Mereka, misalnya, menolak atau melarang melangsungkan pernikahan di dalamnya. Namun, tradisi ini dibatalkan oleh datangnya Islam. Nabi Muhammad SAW sendiri, seperti dikutip Ibnu Mandhur dalam Lisan al-Arab, menikahi Aisyah pada bulan Syawal dan memulai hidup bersama dengannya juga pada bulan Syawal. Kenyataan ini dibanggakan sendiri oleh Aisyah. Katanya, ''Siapa di antara isteri-isteri Nabi seberuntung aku di sisinya?''
Kata Syawal berasal dari kata Syala, berarti naik atau meninggi (irtafa'a). Dikatakan menaik atau meninggi, boleh jadi karena dua alasan. Pertama, karena pada bulan ini, kedudukan dan derajat kaum muslimin meninggi di mata Tuhan setelah mereka menjalankan puasa Ramadhan sebulan lamanya, seperti dijanjikan Nabi SAW dalam sekian banyak hadis. Kedua, karena secara moral kaum muslimin dituntut untuk dapat mempertahankan dan bahkan meningkatkan nilai-nilai yang mereka tempa selama bulan Ramadhan. Semangat Ramadhan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti kejujuran, kesabaran, disiplin, takwa, dan kesetiakawanan sosial harus tetap nyata pada bulan Syawal ini dan bulan-bulan berikutnya sepanjang hidup kita. Jadi, Syawal, sesuai dengan makna hafiahnya, dapat disebut sebagai bulan aktualisasi nilai-nilai.
Peningkatan dan aktualisasi nilai-nilia di atas, agaknya memang perlu kita ingat. Tidak semua kaum muslimin mampu mempertahankan nilai-nilai Ramadhan itu. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang kemudian mengabaikannya bersamaan dengan berlalunya bulan suci itu. Kenyataan ini tidak saja berlawanan dengan prinsip istiqamah, sikap keberagamaan yang stabil dan konstan, tetapi juga bertentangan dengan hakekat agama itu sendiri yang dalam Kitab Suci disimbolkan dengan istilah-istilah seperti shirath, sabil, syari'ah, dan minhaj, yang kesemuanya berarti jalan.
Ini mengandung makna bahwa keberagamaan itu adalah suatu perjalanan panjang tanpa henti dan tanpa kenal lelah. Tujuan akhir agama itu adalah perjumpaan dengan Tuhan itu sendiri dalam perkenan-Nya. Dalam perjalanan itulah terdapat suatu dinamika dan kebahagiaan yang sungguh sangat sejati bagi orang yang menempuhnya, terutama ketika ia semakin dekat (taqarrub) dengan Tuhannya.
Sikap dan semangat keberagamaan seperti itulah agaknya yang dipesan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW dan selanjutnya kepada seluruh kaum muslimin dalam ayat ini: ''Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu menuju dan berharap.'' (Q. S. 94: 7-8). ahi